Bandung Barat – Puluhan warga Lembang menjejali area perkemahan di dekat puncak Gunung Geulis. Mereka akan mengikuti ritual Ruwat Bumi, perintah kambing menolak bala.
Warga Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang baik itu tua, lelaki dan perempuan yang berjalan beriringan di jalur menuju area perkemahan sambil membawa bermacam sesajian, tumpeng, serta seekor domba muda berwarna hitam pekat sebagai persembahannya.
Bukan tanpa tujuan, warga kampung dipimpin sesepuh menuju di area perkemahan untuk menggelar ruwatan bumi Geger Bintang yang rutin dihelat setiap tahun.
Tokoh pemuda dan masyarakat Kampung Gunung Putri Adi Sutriatna (40) mengungkapkan ruwatan bumi tersebut bukan hanya ritual dengan embel-embel kepercayaan. Lebih dari itu, ruwatan sebagai jati diri warga setempat dan melestarikan budaya dan adat leluhur.
“Hari ini kami laksanakan ruwatan rutinitas memotong domba di kawasan Gunung Putri. Ruwatan ini dilakukan rutin setiap tahun. Bukan hanya soal kepercayaan, tapi ini juga jadi adat yang harus dilestarikan oleh kami para leluhur terdahulu,” ungkap Adi saat ditemui, Kamis (27) / 8/2020).
Ruwatan itu, kata Adi digelar setelah bencana alam yang mengancam warga setempat Gunung Putri. Tahun 1970-an silam, gunung dengan ketinggian mencapai 1587 mdpl itu sempat hampir longsor dengan tanah di puncak gunung yang sudah terbelah.
“Jadi tahun 1970 Gunung Putri ini sempat mau longsor karena tanahnya sudah terbelah sepanjang 50 meter. Akhirnya sesepuh menggelar syukuran dan mengubur kepala kambing yang ditumbalkan di tanah terbelah itu. Percaya atau tidak, tanahnya langsung rapat lagi,” ujarnya.
Gelaran ruwatan bumi itu kini dimaknai sebagai penolak bala, agar kehidupan warga sekitar Gunung Putri yang selalu diberikan keselamatan dan keberkahan yang diberikan oleh Sang Pencipta.
“Ini jadi penolak bala juga. Kita harus mempersembahkan sesuatu bagi sesepuh kita yang menghuni Gunung Putri. Di balik gelaran ini, akhirnya warga dan sesepuh bisa bersilaturahmi,” ucap Asisten Perhutani KPH Bandung Utara, Susanto.
Sebagai pengelola kawasan wisata Gunung Putri, pihak Perhutani KPH Bandung Utara tidak setuju warga tetap menggelar ritual tahunan tersebut asal tetap bermuatan positif tanpa ada niat buruk di baliknya.
“Tradisi ini kan sudah ada sejak dulu sebelum kami kawasan wisata ini. Selama positif tentu kami akan mendukung dan kedepannya akan kami coba jadikan wisata adat yang dilakukan bagi pengunjung,” katanya.
Kejadian kejadian akan adanya longsor hingga membuat tanah Gunung Putri membelah, Susanto menyebut ada bekasnya yang bisa dijadikan bukti sejarah. Namun secara keilmuan, tak ada rekam jejak jelas soal kejadian tersebut.
“Kalau sisa rekahannya memang ada, tapi kalau itu catatan itu tidak ada. Itu juga kan cerita dari leluhur dan kami harus menghormati itu juga,” tandasnya.
