You are currently viewing Fakta Gedung Sate: Usia 100 Tahun, 6 Juta Gulden, dan Peninggalan Krisis Ekonomi

Gedung Sate adalah sebuah bangunan bersejarah di Kota Bandung, Jawa Barat. Gedung tersebut kini menjadi kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat sekaligus destinasi wisata. Masyarakat kerap menyebutnya sebagai ‘Gedung Putih’ Bandung.

Kepala Bidang Industri Pariwisata, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Azis Zulfikar menjelaskan sejarah bangunan yang kini sudah berusia satu abad. Peletakan batu pertama pembangunan Gedung Sate berlangsung pada tahun 1920 di masa penjajahan Belanda. “Tepat pada tanggal 27 Juli 2020, Gedung Sate merayakan hari jadi ke-100,” kata Azis Zulfikar di Bandung, Sabtu, 29 Agustus 2020.

Dulu, Gedung Sate bernama Gouvernements Bedrijven. Sejak tahun 1980 bangunan tersebut menjadi Kantor Gubernur Jawa Barat. Berdasarkan literatur, Azis Zulfikar mengatakan Gedung Sate merupakan salah satu proyek Pemerintah Hindia Belanda yang kala itu ingin memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia (Jakarta) ke Bandung, Jawa Barat.

“Gedung Sate merupakan salah satu gedung yang dirancang untuk pusat pemerintahan. Pada waktu itu, Pemerintah Hindia Belanda akan membangun sebuah kompleks perkantoran,” katanya. Dari dokumen denah pembangunan pusat Pemerintahan Hindia Belanda, Gedung Sate adalah satu dari 17 bangunan yang rencananya ada di kompleks perkantoran itu.

“Hanya saja yang terealisasi baru tiga bangunan karena krisis ekonomi akibat perang dunia pertama,” kata Azis Zulfikar. Pembangunan Gedung Sate memakan waktu empat tahun, mulai 1920 sampai 1924. Disebut Gedung Sate karena memiliki ciri khas berupa 6 tusuk sate yang terletak di atas menara. Enam tusuk sate itu melambangkan 6 juta Gulden biaya pembangunannya.

Arsitektur Gedung Sate mengadopsi budaya Eropa, Asia, dan Nusantara. Ada bagian yang menyerupai masjid atau nuansa Islam, ada juga candi, dan ornamen bernuansa Eropa. Di bagian timur dan barat terdapat dua ruang besar atau ballroom yang umumnya terdapat pada bangunan di Eropa.

Ruangan yang disebut aula barat dan aula timur ini kerap digunakan kegiatan resmi. Adapun lantai paling atas terdapat disebut Menara Gedung Sate dan tidak dapat dilihat langsung dari bawah. Bagi yang ingin ke puncak Gedung Sate harus naik dengan lift atau menggunakan tangga kayu. Ada enam tangga yang harus dilalui dengan masing-masing sepuluh anak tangga yang harus dinaiki.

Wisatawan yang berkunjung ke Gedung Sate bisa mampir ke museum. Dengan membayar Rp 5.000, wisatawan dapat mempelajari sejarah pembangunan di Museum Gedung Sate dengan pendekatan digital. Dan jangan lupa untuk tetap menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penyebaran Covid-19.

Sumber Berita : Tempo.co