You are currently viewing Menelusuri Kampung Gajah yang Kini seperti ‘Kampung Mati’

Bandung Barat – Kampung Gajah di Jawa Barat adalah tempat wisata yang ditinggalkan. Dulu mungkin banyak tawa suka cita di sana, tapi kini suasana sudah sunyi senyap.

Sang fajar mulai meninggi kala itu. Aktivitas pagi ini seperti biasa saya habiskan dengan mencari informasi di ponsel sebelum terjun ke lapangan mencari berita. Barangkali ada kejadian atau sesuatu yang unik untuk diulik.

Tiba-tiba terbersit ingatan akan tayangan di Instagram mengenai sebuah tempat wisata yang dulu ramai tapi kini, katanya, jadi angker alias menyeramkan. Tergelitik rasa penasaran, akhirnya saya putuskan untuk mendatangi tempat itu. Ya, Kampung Gajah namanya.

Sebelum berangkat istri saya mewanti-wanti agar banyak berdoa. Mungkin ia khawatir karena dari pengalaman saya sebelumnya mendatangi tempat yang katanya angker, ada saja hal ‘tak masuk akal’ yang terjadi.

Sekitar pukul 08.00 WIB, saya mulai berangkat dari Kota Bandung. Sepeda motor saya pacu melalui jalur Setiabudi, melewati hiruk-pikuk aktivitas mahasiswa UPI dan pengguna jasa angkutan di Terminal Ledeng.

Barulah setelah itu saya ambil jalur ke kiri, tepatnya ke Jalan Sersan Bajuri. Kira-kira 15 menit dari sana, saya tiba di gerbang masuk Kampung Gajah. Agak deg-degan juga, apalagi setelah melihat gerbang pintu raksasa yang kusam tak terawat.

Gerbang Kampung GajahGerbang Kampung Gajah (Yudha Maulana/detikcom)

Saya berhenti sejenak di depan gerbang, berusaha mencari tahu perizinan untuk bisa masuk ke area wisata. Saya kemudian bertemu dengan Komar, ia datang dari arah pintu keluar Kampung Gajah.

Komar merupakan eks karyawan Kampung Gajah. Kini ia sesekali menjadi pencari rumput di kawasan seluas 60 hektare tersebut.

“Silakan saja masuk, ada satpam di sana,” ujar Komar.

Ternyata, tempat ini tak betul-betul ditinggalkan. Masih ada pos penjaga dengan beberapa orang di dalamnya.

Setelah memarkir sepeda motor, saya masuk ke ruang satpam. Di sana saya diminta menitipkan KTP dan mengisi formulir keperluan, setelah ditanya asal muasal tentunya.

“Jangan lupa nanti kalau sudah beres, uang kebersihannya, seikhlasnya saja,” kata salah seorang penjaga.

Saya sanggupi permintaan itu. Petugas kemudian mengarahkan saya menuju lokasi wisata. Sebuah patung gajah setinggi kurang lebih 7 meter menyambut sebelum masuk ke lokasi yang dituju.

Patung itu tetap berdiri kokoh dan boleh jadi merupakan saksi bisu geliat wisata di tempat ini hingga akhirnya lesu dan kini mati. Lokasi pertama yang saya tuju adalah arena permainan air yang berada di lembah Kampung Gajah.

Di sepanjang perjalanan, saya melihat rerumputan liar tumbuh lebat di trotoar. Ranting pohon tergeletak di sekitar, tanpa ada yang membersihkan.

Suasana di dalam Kampung GajahSuasana di dalam Kampung Gajah (Yudha Maulana/detikcom)

Dari atas lereng menuju lembah, terlihat sebuah bangunan megah berlantai empat. Dulu tempat itu adalah gedung Food and Convention Hall Kampung Gajah, tempat wisatawan yang lapar mencari pengganjal perut.

Kini, kondisinya mirip gedung terbengkalai yang ada di film-film post-apocalyptic; kumuh dan dipenuhi coretan graffiti baik di dinding dan kaca gedung. Melihat lebih dekat, terdapat pula coretan bernada asusila di beberapa titik bangunan.

Langit-langit gedung itu juga telah jebol. Lantainya kotor. Di lantai 1, malah terlihat rerumputan tumbuh di sana-sini. Beberapa sepeda trike yang rusak teronggok begitu saja dan mulai berkarat.

Patung sinterklas yang tengah tersenyum lantas menyita perhatian saya. Tangannya buntung dan potongannya itu berada di antara rerumputan. Agak horor juga.

Mendatangi Kampung Gajah yang Kini seperti ‘Kampung Mati’Patung Sinterklas di Kampung Gajah (Yudha Maulana/detikcom)

Sementara itu di luar gedung, hanya terdapat hamparan puing-puing arena wisata air Kampung Gajah. Di sana saya melihat beberapa pria tengah membongkar dan mengangkut water slider atau seluncuran air.

“Ini untuk dipindahkan ke waterboom di area Lembang,” kata salah seorang penjaga.

Terlihat onggokan wahana kereta yang disimpan tak beraturan, layaknya barang tak berharga. Kursi dari wahana tersebut sobek dengan kaca yang retak.

Sisa-sisa wahana permainan di Kampung GajahSisa-sisa wahana permainan di Kampung Gajah (Yudha Maulana/detikcom)

Di bagian utara, tampak sebuah tebing yang ambrol. Material longsor menggerus pepohonan dan area wisata yang berada di bawahnya. Miris sekali rasanya membayangkan jika hal itu terjadi saat dipadati wisatawan.

Saya duduk termenung di bawah pohon yang dikelilingi rerumputan di tengah arena ATV. Di depan saya ada sisa kolam ombak yang dipenuhi lumut, masih terlihat jelas bangunan kapal laut yang jadi ciri khas wahana tersebut.

Mata saya pejamkan, berusaha membayangkan keriaan di tempat ini. Kini hanya ada suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Kampung Gajah yang dulu ramai kini tinggal kenangan.