Jelajah Sejarah di Gedung Sate Yang Kini Berusia 100 Tahun.

Sebuah bangunan tua peninggalan masa kolonial Belanda yang terletak di jalan Diponegoro Bandung kerap menarik perhatian orang – orang yang lewat karena memiliki keunikan tersendiri. Gedung yang memiliki ciri khas berupa ornamen yang berbentuk seperti tusuk sate yang terdapat pada menara sentralnya ini sudah sejak zaman dulu menjadi salah satu ikon bersejarah dan bangunan khas kota Bandung, yang dikenal secara nasional. Dinamakan Gedung Sate yang dulunya bernama Gouvernements Bedrijven, gedung ini sekarang berfungsi sebagai gedung tempat pemerintahan Pusat Jawa Barat dan seringkali menjadi tempat berbagai festival seni serta kegiatan lainnya. Berdiri di tanggal 27 Juli 1920 gedung ini dibangun di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung Wali kota Bandung, B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 27 Juli 1920, Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara. Meski berusia sudah lebih dari seratus tahun, bangunan ini masih tetap berdiri kokoh dan anggun. Fungsinya sebagai pusat pemerintahan dari jaman Belanda hingga saat ini mungkin menjadi salah satu alasan mengapa gedung ini terjaga kondisinya.

Gedung Sate bukanlah sebuah gedung yang berbentuk seperti sate atau sebuah gedung yang menjual berbagai jenis sate. Gedung ini adalah sebuah bangunan bersejarah yang ada di pusat kota Bandung. Disebut sebagai Gedung Sate karena gedung ini mempunyai ciri khas yang unik, yaitu ornamen 6 tusuk sate yang ada di atas menara sentral. 6 tusuk sate ini melambangkan 6 juta Gulden yang dipakai untuk membangun gedung berwarna putih ini pada masanya. Gedung ini sangat terkenal tidak hanya di kota Bandung saja, melainkan juga sudah terkenal di Jawa Barat dan Indonesia Sebagai penanda usia seabad Gedung Sate kemudian dibukalah kawasan bangunan ini untuk umum dan menjadi salah satu destinasi wisata. Masyarakat pun dapat menyusuri jejak – jejak historis Jawa Barat dengan menghadirkan tour guide berpengalaman di Museum Gedung Sate. Kini dengan hanya perlu membayar Rp5.000, pada waktu operasional normal, Museum Gedung Sate buka setiap Selasa hingga Minggu (Senin tutup), pukul 09.30-16.00 WIB, wisatawan sudah bisa mempelajari lebih dekat sejarah pembangunan Gedung Sate di Museum Gedung Sate secara komprehensif dan dengan pendekatan digital. Hampir seluruh bagian dari gedung ini adalah perkantoran, termasuk ruangan yang pada jaman dahulu kala digunakan sebagai penjara bawah tanah. Suasana berbeda akan Anda dapatkan bila Anda naik ke lantai 4. Lantai 4 ini biasanya digunakan untuk menjamu tamu spesial atau acara kenegaraan sehingga mempunyai suasana yang lebih nyaman. Selain dapat melihat pemandangan indah dengan menggunakan teropong, di lantai 4 ini juga terdapat foto-foto kegiatan gubernur, dilengkapi dengan macam-macam cinderamata dan prasasti dari provinsi Jawa Barat.

Selain itu, taman di sekeliling Gedung Sate juga salah satu lokasi favorit untuk wisatawan berfoto-foto, baik berfoto biasa untuk kenang-kenangan maupun foto untuk pengantin dan pengambilan gambar untuk film. Setiap hari Minggu, selain ramai dengan kegiatan wisata, kawasan taman ini juga ramai dikunjungi orang yang ingin bersantai dan berolahraga ringan. Dijelaskan oleh Azis Zulfikar selaku Kepala Bidang Industri Pariwisata, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat kepada rombongan Forum Wartawan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Forwaparekraf), bahwa pembangunan Gedung Sate ini awalnya direncanakan terdiri dari 17 bangunan berbeda namun hanya 3 bangunan yang mampu direalisasikan oleh Hindia Belanda pada saat itu.

“Awalnya Gedung Sate ini hanya akan menjadi awal dari pembangunan Kompleks Pemerintahan Pusat Hindia Belanda untuk menggantikan peran Batavia. Menurut masterplan-nya akan dibangun 17 gedung hanya saja yang terealisasi baru 3 bangunan dikarenakan adanya krisis ekonomi akibat perang dunia ke-1,” jelasnya.

Kompleks Gedung Sate akan terus dikembangkan sebagai destinasi wisata yang ramah bagi pejalan kaki dengan pembangunan pedesterian hingga mencapai Monju (Monumen Juang). Harapannya hal ini dapat semakin menarik perhatian wisatawan berkunjung, karena Gedung Sate sangat tepat menjadi centrepoint pariwisata Kota Bandung. “Dan dalam rangka masa Adaptasi Kebiasaan Baru, Gedung Sate pun menerapkan protokol kesehatan ketat sebagai bagian upaya mewujudkan pariwisata yang aman dan nyaman di provinsi Jawa Barat,” ujar Azis.

Aziz menjelaskan bahwa hampir seluruh batu yang digunakan dalam pembangunan Gedung Sate adalah batu kali dan batu gelas. Sementara kolom bangunan terbuat dari baja asli Swedia. “Untuk batu kalinya sendiri, batu diambil dari kawasan Bandung Timur. Seperti daerahnya Sindanglaya dan Ujungberung. Diambil dari daerah sana karena batunya lebih kuat,” katanya. Dahulu Indonesia masih belum memproduksi baja sehingga harus mengimpor baja dari Swedia.

Sumber : Koran Pelita

Close Menu